Powered By Blogger

Rabu, 22 Desember 2010

തരി

Makalah ini disampaikan untuk
Seminar Budaya Melayu Jambi
yang diselenggarakan oleh Universitas Jambi
pada tanggal 19 Desember 2009 di Jambi

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN
TARI MELAYU JAMBI
DALAM DUA DASAWARSA (1989 – 2009)

Oleh : Tom Ibnur

PENGANTAR

Mengambil judul tulisan ini tentu saja mempunyai alasan yang kuat. Pertama, kehadiran saya di Jambi untuk bermain-main dengan kesenian Jambi berawal pada minggu terkahir bulan Desember tahun 1989. Kemudian terus berlanjut ulang-alik dari Jakarta ke Jambi untuk bergelimang dengan seni budayanya sampai hari ini. Tak terasa sudah berjalan dua dasawarsa dan selama itu pula saya mengalami pasang surut kondisi berkesenian di Tanah Jambi yang semakin saya cintai dan semakin kuat pula untuk menetap. Itu pula sebabnya pembahasan perkembangan dan pertumbuhan tari Melayu Jambi yang dibahas dibatasi dalam kurun waktu yang memang saya alami dalam realitas. Kalaupun ada tersirat diluar itu tak lain sebagai hasil wawancara dan tinjauan dari berbagai sumber.
Awalnya saya mengenal beberapa nomor tari Melayu Jambi di Jakarta dari seorang pelatih tari bernama Rusdi pada tahun 1979. Kami sering menarikannya di berbagai pergelaran di Jakarta, di berbagai daerah dan bahkan di luar negeri. Ketika itu, tari rangguk, tari selampit delapan dan tari sekapur sirih merupakan tarian yang popular sebagai maskotnya dari daerah Jambi. Setelah berlangsung sepuluh tahun (1979 – 1989) barulah saya ketahui bahwa tarian tersebut bukanlah tari tradisional Jambi. Tetapi telah mengalami perubahan di sana-sini sebagai inspirasi seniman yang kemudian melahirkan tarian tersebut. Tari selampit delapan digubah oleh M. Ceylon Siregar, tari sekapur sirih oleh O.K. Hundrick yang lebih dikenal dengan panggilan Ahun, sedangkan tari rangguk belum diketahui siapa penggubahnya. Tetapi diketahui berasal dari Kerinci dengan berbagai versi yang mungkin digubah oleh banyak seniman. Beberapa perbendaharaan tari lainnya diketahui pula seperti tari tauh rampak gubahan Darwan Asri, tari tauh gukirang gubahan Ahun dan lainnya. Terasa pada awal tahun 1990 perbendaharaan tari tradisional maupun gubahan baru jumlahnya sangat sedikit sekali.
Untuk mengetahui lebih banyak khasanah tari di Provinsi Jambi maka atas kerjasama Institut Kesenian Jakarta dengan Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Jambi diupayakan berbagai kegiatan yaitu; Peninjauan Lapangan terhadap Tari Tradisional di Provinsi Jambi pada tahun 1992 – 1993, Penelitian Persebaran Seni Pertunjukan Tradisonal di Provinsi Jambi tahun 1994 – 1996, Pengkajian Ulang Data Persebaran Seni Pertunjukan Tradisional di Provinsi Jambi tahun 1997, Revitalisasi Seni Pertunjukan Tradisional di Provinsi Jambi tahun 1998 – 2000. Kemudian dilakukan pula Pendataan Organisasi Budaya di Provinsi Jambi oleh Yayasan Kelola bekerjasama dengan Kajanglako Arts Centre pada tahun 2001.
Hasil kerja di atas memberi gambaran yang luar biasa dan menyimpulkan betapa kayanya budaya Jambi. Seni tari dan musik ditemui merupakan bagian yang terbanyak dan sering dipentaskan di Provinsi Jambi. Fungsinya beragam seperti pergaulan/hiburan, upacara daur hidup, upacara keagamaan, upacara tolak bala, upacara kerja, upacara nasional dan lainnya. Sedangkan pesan yang disampaikan berkaitan dengan perekonomian, keagamaan/kepercayaan, sosial, kekeluargaan, pendidikan dan pelestarian alam.
Kekayaan Jambi dengan seni tari tradisionalnya merupakan tumbuhnya varian-varian baru yang bersumber dari berbagai jenis seni pertunjukan tradisonal. Perkembangan tersebut juga dipacu oleh adanya keinginan untuk mewujudkan jati diri budaya Jambi. Sementara di pihak lain, perkembangan tersebut juga dipacu oleh adanya kebutuhan untuk kepentingan pariwisata. Hal ini tentu merupakan potensi yang amat berarti bagi pengembangan seni pertunjukan tradisonal Jambi. Namun perlu dipertanyakan, untuk siapakah gerangan perkembangan seni pertunjukan tersebut ditujukan? Untuk kepentingan masyarakat dalam kaitannya dengan kebutuhan akan seni pertunjukan itu sendiri ataukah untuk kepentingan sosial politik ?. Kedua hal tersebut jelas harus dipisahkan secara tegas, karena keduanya mempunyai konsekuensi logis yang berbeda. Kalau pengembangan tersebut ditujukan bagi kepentingan masyarakat yang bersangkutan, tentu segala sesuatunya harus berangkat dari apa yang dimiliki, dihayati, dan dibanggakan oleh masyarakat. Yang sering terjadi, masyarakat sebagai pemilik seni pertunjukan justru dianggap sebagai objek belaka, dalam arti kepentingan yang ada dibalik pementasan seni pertunjukan tersebut seringkali tidak diperhatikan. Akibatnya, seni pertunjukan tersebut semakin bersifat artifisial dan terlepas dari konteksnya.
Melihat perkembangan dan pertumbuhan tari secara umum di Provinsi Jambi dari satu sisi yakni banyaknya karya-karya tari yang bermunculan dari para seniman, dapat memberi kesan yang menggembirakan. Tetapi ketika tari dilihat dan ditinjau dari berbagai pertunjukan baik di perkotaan dan pedesaan yang tertuju pada tari Melayu Jambi, disinilah permasalahan yang perlu untuk ditelaah.

TUNTUTAN SEBUAH KEASLIAN

Provinsi Jambi termasuk kawasan budaya Melayu yang unik dan kompleks. Berbatasan dengan kawasan-kawasan melayu lainnya yaitu Riau, Minangkabau, Bengkulu dan Palembang, telah memberi pengaruh (influence) terhadap gaya, warna dan karakter tersendiri terhadap tari Melayu Jambi. Semestinya kondisi tersebut dipandang sebagai sebuah pengayaan terhadap seni dan budaya Jambi yang kemudian mengkristal menjadi apa yang kita alami saat ini. Kenapa harus dipandang dengan kacamata demikian karena masih saja banyak ditemukan berbagai pandangan yang sempit dalam masyarakat Jambi bahwa percampuran budaya atau akulturasi dianggap sebagai sesuatu yang tidak murni sebagai budaya Jambi. Maka muncul pendapat-pendapat yang terkadang miring dan miris dengan pernyataan; tari itu meniru tari Minang, kesenian ini bercampur rasa Palembang, musik iringan tari atau lagu itu mengambil budaya Riau , dan lain sebagainya. Padahal, disadari atau tidak imbasan budaya lain seperti Bugis, Banjar, Jawa, Sunda, Arab, India, Cina dan lainnya pun ikut memberi kontribusi dalam pertumbuhan seni budaya Melayu Jambi.
Mengamati bentangan Provinsi Jambi mulai dari daerah pesisir timurnya hingga ke dataran tinggi di Kerinci, secara sederhana dapat dikatakan bahwa ada 4 kawasan budaya dengan kekhasannya masing-masing. Pesisir Timur (Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur) – kawasan yang banyak dipengaruhi oleh budaya melayu kepulauan dan semenanjung, Bagian Tengah (Kabupaten Muaro Jambi, Batanghari dan Kota Jambi) – kawasan yang kental dengan budaya melayu Jambi namun kawasan perbatasannya bercampur dengan budaya Palembang, Bagian Barat (Kabupaten Bungo, Tebo, Sarolangun , Merangin) – memiliki pernak-pernik Minangkabau, Bengkulu dan Palembang, Dataran Tinggi Kerinci – berdiri sendiri dengan keunikannya namun masih terasa nuansa Minangkabau. Dalam perkembangan, pertumbuhan dan perpindahan masyarakat maka Jambi pun mengalami percampuran budayanya yang semakin beragam dengan budaya; Jawa, Sunda, Batak, Aceh, dan etnik lainnya.
Memang sulit untuk menentukan mana yang asli dan mana yang tidak karena akulturasi telah terjadi berabad lamanya. Dan seni budaya yang mengalaminya pun telah menjadi milik orang Jambi sendiri. Lihat saja zapin arab yang ada di Kampung Manggis, tari ini masih kental dalam komposisi tari dan musik Arab nya. Tari ini masuk ke Jambi melalui silaturrahmi persaudaraan orang-orang keturunan Arab yang menetap di Palembang, dan zapin mabok di Kuala Tungkal memiliki kemiripan dengan zapin yang ada di Riau dan Kepulauan Riau, Tak dapat dihindari mengalirnya saling memberi pengaruh timbal balik antara budaya pesisir Jambi dengan budaya pesisir Riau dan Kepulauan Riau yang begitu dekat serta memiliki hubungan perdagangan dan persaudaraan yang kuat. Tari piring di Gunung Raya mengalir dari daerah Minangkabau, begitu pula yang ada di, Rantau Kapas Mudo dan Perentak. Sementara tari selendang mayang, mainang dan cerai kasih di Ampelu terbentuk atas mengalirnya budaya Melayu melalui aliran Batang Tembesi dan Batanghari. Tari gunjing dan kain kromong di Mandiangin keberadaannya karena perpindahannya masyarakat serta menetap dari kawasan rawas dan rupit, Sumatera Selatan. Menurut keterangan tokoh masyarakat Mandiangin Tuo, Basri Sapanggung (almarhum), bahwa alat musik kromong mereka dapatkan dan dibeli di Singapura. Kromong tersebut berasal dari Siam (Thailand) kemudian dengan pelayaran yang panjang menelusuri sungai Batanghari dan Tembesi menuju Mandiangin Tuo. Tari anggut di Jambi Seberang mendapat pengaruh budaya Islam yang masuk dari muara Sungai Batanghari. Sedangkan Saman di Pulau Tengah dibawa oleh para ulama Kerinci yang menetap di Johor Baru kemudian kembali ke Kerinci. Begitu pula dengan tarian lainnya memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda.
Karya-karya baru dalam tari yang diciptakan oleh para seniman di Jambi, seperti tari selampit delapan karya M. Ceylon Siregar (almarhum) sesungguhnya berasal dari Tapanuli. Wawancara saya bersama M.Ceylon Siregar pada tahun 1994, berkaitan dengan penelitian tari tradisional Jambi, berisikan pengakuannya sebagai berikut:
“Saya membawa tari selampit delapan yang saya pelajari di Medan. Guru saya berasal dari Tapanuli Selatan. Perpindahan saya ke Bangko sekaligus tari ini terbawa dan diajarkan kepada anak-anak dan para guru. Semula tari ini menggunakan tali kemudian atas saran Ahun diganti dengan selendang”.

Awalnya tari ini menggunakan delapan utas tali yang dikembangkan di Bangko pada tahun 1962. M. Ceylon Siregar tidak sendiri mengembangkan tari ini tetapi bersama M. Ali Thaib. Selanjutnya M. Ceylon Siregar pindah ke Muaro Bungo dan mengajarkan tarian ini kepada guru-guru sekolah. Tahun 1967 terjadi perombakan pada iringan musik yang semula kental berwarna Melayu Deli dirubah menjadi musik Melayu Jambi. Dan atas saran O.K. Hundrick penggunaan tali berganti dengan selendang. Tari selampit delapan pun mengalami perubahan pada tahun 1967 dimana O.K. Hundrick membuat komposisi baru seperti yang adanya sekarang.
Menurut hasil penelitian tari tradisional Minangkabau pada tahun 1976 oleh Tim Peneliti Akademi Tari, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) tari sejenis ini ditemui di Talu, Lubuk Sikaping, Panti dalam Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, sebagai tari tradisional setempat. Tari ini bernama tari salapan, yang dibawakan empat pasang penari yang menari menggunakan delapan helai selendang sambil membuat jalinan selendang pada gantungannya. Diperkirakan tari salapan ini mengalir ke Tapanuli Selatan yang berbatasan dengan Kabupaten Pasaman pada bagian utaranya. Kemudian berkembang sampai ke Medan.
Lain lagi dengan tari sekapur sirih karya O.K.Hundrick. (65) yang berasal dari Bangka. Wawancara saya bersama beliau tahun 1994, menyatakan:
“Bang Ahun menciptakan tari sekapur sirih awalnya tahun 1967 atas permintaan Raden Rahman - ketika itu menjabat sebagai Komandan Korem di Jambi - yang menyampaikan bahwa diperlukan adanya tari penyambutan kedatangan Presiden Soeharto ke Jambi pada tahun 1968.

Sedangkan pada tahun 2009 beliau menambahkan:

“Tari ini tidak ada pengaruh dari tarian yang ada di Mandiangin Tuo, tetapi memang diarahkan Raden Rahman untuk membuat tari yang mengisahkan tentang perempuan yang bersolek untuk menerima tamu”.

Walaupun Ahun tidak menyatakan terinspirasi dari tarian yang ada di Mandiangin Tuo, namun gerakan-gerakan yang membangun komposisi tari sekapur sirih memiliki kemiripan dengan tari gunjing dari Mandiangin Tuo. Tari gunjing juga berisikan gerakan perempuan bersolek sambil bergunjing dengan teman-temannya. Diperkirakan Raden Rahman memegang peranan dalam mengarahkan Ahun, dan kemungkinan beliau pernah melihat atau mengetahui tarian di Mandiangin Tuo. Gerak tari bersolek kemudian dikembangkan dan disusun menjadi tari persembahan oleh Ahun serta disempurnakan dengan iringan musiknya yang diciptakan oleh Firdaus Chatab, dan dimainkan oleh Tarlamsah Saragih, orang Tapanuli, yang banyak memberi arti pada perkembangan musik di Jambi. Pemikiran yang lain bahwa pada era tersebut hampir di seluruh daerah banyak tercipta tarian puteri bersolek yang mengambil cerita dari legenda nusantara seperti, puti bungsu, puteri tujuh, jaka tarub dan lainnya.
Beberapa karya Ahun adalah, tari selampit delapan tulang belut, tari kasih remaja, tari rabana, tari serai serumpun, tari kendi, tari pendekar lima, tari bambu silang, tari bujang dara, tari sirih mayang berias, tari merajut kasih, tari seribu lilin, dan lainnya.
Tari tauh rampak karya Darwan Asri (53), keturunan suku Banjar, pada tahun 1990 masih terasa kental dalam gerak-gerak tauh yang ada di Kabupaten Bungo dan Kabupaten Tebo. Wawancara saya bersama Darwan Asri tahun 1998 dan 2009, menyatakan:
“Tari tauh yang saya ciptakan memang berangkat dari berbagai tari tauh tradisional yang ada. Tetapi telah mengalami perubahan dengan variasi dan pengembangan gerak. Mulanya tari ini diciptakan tahun 1979 dengan judul tauh, kemudian pada tahun 1990 dirubah judulnya menjadi tauh rampak”.

Karya lainnya adalah, tari besalan, tari kisan, tari ateh angin, tari sundang, tari zapin rantau, tari kuki, tari sirih layang, tari ya fatah, tari bedana, tari nazomon hadrah, tari dana papalik, tari dana ya dahdan, dan lainnya.
Tahun 1993, Tom Ibnur (penulis sendiri) mulai menciptakan tari berdasarkan seni budaya Melayu Jambi. Tarian tersebut disiapkan untuk mengikuti Internationaux Folklorique du Monde di Prancis dan Spanyol. Tom Ibnur lebih mengutamakan pengenalan tari tradisional Jambi secara dekat dan utuh untuk setiap penciptaan tariannya. Untuk itu, dia meneliti tari, musik, teater, upacara, sastra, maupun seni tradisional lainnya dengan cermat ke pelosok-pelosok Provinsi Jambi. Karya-karyanya antara lain, tari joged batanghari berakar pada joged yang terdapat di kawasan sepanjang sungai Batanghari. Sedangkan tari puti cinde mendapat inspirasi dari patung, relief, dan arsitektur Candi Muaro Jambi. Sejak tahun 1993 hingga 2009 lebih dari 30 karya tarinya dipersembahkan untuk perbendaharaan tari Jambi, antara lain: tari besale nyanyian alam, tari sembah segalah sedayung, tari sembah makan sirih,tari joged teluk kembang, tari piring tujuh ijak, tari zikir anggut, tari lenggok kincai, tari entak kudai, tari kipas besulam, tari tolak bala, tari rentak regam swarna bumi, tari sentak pangean, tari dana si gombak, tari dana sungai keruh, tari dana seberang, tari dana sarah, tari dana lambung, tari dana celepek, tari zapin dana bedana, tari zapin kampung manggis, tari zapin hadrah, dan lainnya. Untuk iringan musik tari, Tom Ibnur bekerja dengan beberapa penata musik seperti Zulbachri, Deddy Djabak, Azhar, Muhammad Ikhlas, Armen Suwandi, Suwendri dan lainnya.
Tari kipas perentak – hasil rekonstruksi dan penyempurnaan dari tari kipas yang ada di Perentak - , tari skin, tari payung, tari tauh kain, tari tudung ambai, tari puti bungsu, adalah beberapa karya Nuraini (71) yang memberi kontribusi tari untuk Bangko. Beiau telah menciptakan tari sejak tahun 1957 di Padang kemudian pindah ke Bangko tahun 1962 sebagai guru sekolah rakyat. Wawancara bersama beliau pada tahun 1993 memberi penjelasan sebagai berikut:
“Saya lahir di Payakumbuh dan telah mulai menari jaman Jepang tahun 1943. Tahun 1962 saya pindah ke Bangko sebagai guru sekolah. Bakat dan jiwa seni yang saya bawa sejak kecil mendorong saya untuk mencari tari tradisional di Bangko. Tetapi mendapat hambatan karena dianggap berdosa. Akhirnya saya mewawancarai beberapa orang tua untuk mendapatkan gerak dan simbol-simbolnya. Hasil dari wawancara itu memberi pedoman untuk menciptakan tari kipas perentak pada tahun 1969. Kami diundang untuk mengajarkan tari ini dan tampil di Jambi oleh Gubernur Atmadibrata pada tahun 1973”.

Selain tarian di atas, Nuraini juga menciptakan tarian yang berdasarkan pada upacara dan kehidupan masyarakat suku Anak Dalam, dan tak lupa karyanya berdasarkan budaya Minang seperti, tari galuak, tari piring dan lainnya sejak tahun 1958.

Karya tari Iskandar Zakaria (67) mendapat inspirasi dari berbagai aspek budaya yang ada di Kerinci. Seperangkat karyanya adalah tari marcok, tari gadis dusun, tari puti masurai, tari iyo iyo, tari mai bagawe, tari entak sagedung, tari mubou , tari nyubeuk, tari ngunyeh, tari nalak katai, tari puti senang, tari rangguk turun ke sawah, tari bigea rbeah, tari ilek neghoi, tari ilek padai, tari ntak kudo, tari sekapur sirih, tari asyeik, tari tauh, tari nalak laok, tari dilileit tapu, tari anok dahin, tari ragam andalas, tari batani, tari gadih tarana, tari batok sangeti, tari metik kupai, dan lainnya.. Sedangkan tari ambun suri, tari kambang sarunai, tari rantak saiyo diciptakan atas aspek budaya Minangkabau. Wawancara bersama Iskandar Zakaria pada tahun 1993, sebagai berikut:
“Saya lebih banyak menciptakan tari berazaskan budaya Kerinci sejak tahun 1957 sampai sekarang. Tetapi juga menciptakan tari Minang seperti tari ambun suri, tari kambang sarunai, tari rantak saiyo dan lainnya. Mungkin karena saya memiliki darah keturunan orang Minang”.


Nuraini dan Iskandar Zakaria dua seniman tradisi yang banyak memberi kontribusi tarian Jambi di daerah mereka masing-masing. Rasa cintanya pada Tanah Jambi tak terganggu oleh mengalirnya darah orang Minang dalam dirinya.
Masih banyak para seniman tari di Jambi yang belum terpantau dan menyebar di seluruh Provinsi Jambi dengan karya-karyanya. Buah karya para seniman tari ini kemudian diperkenalkan dan berkembang dalam masyarakat Jambi.
Menelaah apa yang terjadi terhadap tarian tradisional Melayu Jambi yang telah berlangsung begitu lama dari asal-usul karya tari para seniman tari di Jambi yang mendapat inspirasi dari berbagai aspek budaya – terkadang bukan hanya budaya Jambi semata – maka semakin sulit kiranya untuk menginginkan sebuah keaslian dalam karya seni yang ada di Jambi. Hal serupa dapat pula terjadi di daerah-daerah lain yang banyak mendapat persinggungan terhadap budaya lain. Maka tak mungkin didapatkan keaslian yang dimaksud karena percampuran budaya telah terjadi sejak lama dan selalu akan terjadi saat ini dan masa datang. Yang penting, sebagaimana Edi Sedyawati mengungkapkan dalam bukunya “ Pertumbuhan Seni Pertunjukan Indonesia” :bahwa:
“Selama bentuk seni yang tercipta masih memiliki rasa yang kuat dari latar belakang budayanya, dan masyarakatnya menerima sebagai bagian dari budayanya maka kesenian itu menjadi milik masyarakat itu sendiri”.

Pendapat ini memperkuat pemikiran karena bagaimanapun sebuah karya seni yang baru takkan pernah sama dengan asalnya. Dia telah ,mengalami perubahan yang terjadi karena perilaku manusianya, dipengaruhi lingkungan baru dimana kesenian itu tumbuh, daya kreatifitas para senimannya, dan fungsi yang diperuntukkan bagi kesenian itu.

Selain itu, kebijakan budaya yang berlaku di Indonesia setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945 banyak mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan tari Melayu di Indonesia. Kebijakan Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia telah menjadikan tarian Melayu Deli seperti, serampang dua belas, mainang pulau kampai, tanjung katung, dan turunan-turunannya yang diciptakan oleh Sauti di Medan atas permintaan Soekarno tahun 1950 menjadi tari nasional. Permintaan ini sangat beralasan bahwa bangsa Indonesia mesti memiliki tari nasional yang sesuai dengan kepribadian Indonesia. Sesuai dengan keadaan waktu itu bahwa Indonesia anti Amerika Serikat dan menempatkan tari pergaulan yang berasal dari Aerika seperti, cha-cha, a go go dan lainnya tidak dibenarkan untuk diterapkan di Indonesia. Sekarno memberikan pendapatnya bahwa tarian tersebut adalah tari ngak ngik ngok.
Tetapi tari serampang dua belas telah merasuk ke seluruh Indonesia dan menjadi kewajiban untuk diajarkan kepada seluruh rakyat Indonesia sebagai tari pergaulan. Setidaknya komposisi, gerak, karakter tari Melayu Deli yang telah tertanam secara nasional tentu ikut memberi warna tarian di daerah-daerah. Sampai saat ini, tari serampang dua belas dan turunan-turunannya masih saja dipelajari dan ditemui di berbagai daerah di Indonesia bahkan sampai ke negara tetangga Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Tarian ini menjadi acuan bagi daerah-daerah yang memiliki budaya melayu. Kebijakan ini berakhir tahun 1965 terkait dengan Gerakan 30 September yang mengakibatkan kepopularan tari serampang dua belas ikut ambruk. Kebijakan Soeharto pun muncul melalaui Garis-garis Besar Haluan Negara bahwa: “ Kebudayaan Nasional adalah puncak-puncak dari kebudayaan daerah”. Sejak itu, muncullah tarian daerah dari setiap daerah yang ada di Indonesia sebagai tari nasional. Keadaan ini telah menjadikan Jambi pun bergiat dan terpacu untuk menampilkan karya-karya seniman terbaik di daerahnya.
Kembali pada masalah yang akan dibahas mengenai perkembangan dan pertumbuhan tari Melayu Jambi berdasarkan uraian singkat di atas, dapat dikatakan bahwa perkembangan mempunyai pengertian memperkenalkan, mengajarkan, mempertunjukan dan menyebarluaskan agar masyarakat dapat mengetahui dan mengapresiasi kesenian dengan baik. Cara ini disebut sebagai pola garis datar atau horizontal Sedangkan pertumbuhan adalah mengembangkan kesenian yang ada dengan berbagai aspek untuk dapat melahirkan karya-karya baru para seniman atau kelompok masyarakat, atau disebut sebagai pola garis tegak lurus atau vertikal. Kedua cara tersebut saling bersandaran dalam melestarikan, mempertahankan, memberdayakan dan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kesenian. Untuk itu, berbagai usaha dan daya semestinya dikerahkan untuk itu.


GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DI PROVINSI JAMBI

Provinsi Jambi memiliki luas 53,244 km2 dan terbagi menjadi sebelas wilayah kabupaten dan kota, yaitu Kota Jambi, Kabupaten Batanghari, Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Tebo, Kabupaten Bungo, Kabupaten Merangin, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Kerinci, dan Kota Sungai Penuh. Ada tiga topografis yang bisa ditemukan di wilayah ini, yaitu topografis pantai yang hanya dijumpai di Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur, topografis dataran rendah, dan topografis dataran tinggi khususnya di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh.
Penduduk Provinsi Jambi terdiri dari berbagai macam suku bangsa, baik suku bangsa pendatang maupun suku bangsa asal. Suku bangsa asal yang ada di provinsi Jambi ialah suku Anak Dalam yang sering juga disebut suku Kubu, suku Bajau atau orang Laut, suku Kerinci, suku Batin, sukiu Pindah, suku Penghulu, dan suku Melayu Jambi. Keanekaragaman komposisi tersebut semakin diperkaya dengan kehadiran kelompok pendatang, baik yang berasal dari wilayah Indonesia sendiri maupun dari luar Indonesia. Mereka datang dan menetap di Jambi secara spontan ataupun melalui program transmigrasi.
Suku Anak Dalam atau suku Kubu hidup menyebar di hutan-hutan yang ada di sekitar Kabupaten Batanghari, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Merangin, Kabupaten Bungo dan Kabupaten Tebo. Suku Bajau berada di Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan menyebar di pinggir-pinggir pantai. Suku Kerinci umumnya tinggal di Kabupaten Kerinci dan Kota SungaiPenuh. Suku Batin dan suku Penghulu mendiami Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo, Kabupaten Merangin dan Kabupaten Sarolangun. Suku Pindah bertempat tinggal di Sarolangun, Pauh dan Mandiangin. Sedangkan suku Melayu Jambi berada di Kabupaten Batanghari, Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo, dan Kota Jambi.
Menurut penelitian Fakultas Seni Pertunjukan - Institut Kesenian Jakarta tahun 1994 – 1996, berdasarkan penelitian adat istiadat daerah Jambi mengungkapkan bahwa::
“Semua penduduk suku bangsa asal yang ada di provinsi Jambi dikategorikan ke dalam ras melayu yang digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu Melayu Muda dan Melayu Tua. Suku asal yang termasuk dalam kategori Melayu Tua adalah suku Bajau, suku Kerinci, dan suku Batin. Suku asal yang termasuk dalam kategori Melayu Muda adalah suku Melayu Jambi, suku Pindah, suku Penghulu. Sedangkan suku anak Dalam atau suku Kubu tidak dimasukkan ke dalam salah satu kategori tersebut, karena suku ini dianggap bersumber dari suku asal tersendiri. Ada dugaan bahwa suku Anak Dalam bersumber dari suku bangsa Weddoid, yaitu percampuran dari suku bangsa Wedda dan Negrito yang berasal dari Ceylon (Srilanka). Pendapat ini masih belum dapat diterima seluruhnya. Namun terdapat kesepakatan bahwa suku Kubu tergolong suku tua yang yang berdiam di Jambi.”
Data-data mengenai asal usul suku Bajau belum banyak diketahui secara pasti karena bersumber dari sejarah lisan. Ada yang mengatakan orang-orang Bajau itu berasal dari keturunan para pelaut Johor. Ada yang mengatakan mereka berasal dari budak-budak para bajak laut dari Moro, Filipina. Bahkan ada pula yang mengatakan mereka sebenarnya adalah bajak laut Moro itu sendiri yang kemudian membuat pemukiman-pemukiman di berbagai pesisir.
“Suku Batin mendiami daerah Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin yakni di Kecamatan Jangkat, Kecamatan Muara Siau, Kecamatan Bangko, dan Kecamatan Tabir. Mereka diperkirakan berasal dari wilayah Kerinci dan pindah wilayah melalui Bukit Barisan”.
Namun sumber lain ada juga yang beranggapan bahwa suku Batin berasal dari suku Minangkabau yang melakukan migrasi ke wilayah Jambi.
“Suku Kerinci dianggap sebagai penduduk asli Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh. Budaya Kerinci amat banyak menerima pengaruh dari Minangkabau, namun dari segi bahasa nampak keasliannya. Dari Minangkabau diterimanya adat, sedangkan dari Jambi diterimanya agama”.
Ada pula pendapat bahwa suku Kerinci berasal dari zaman neolithikum karena tipe orang Kerinci yang ada memperlihatkan persamaan dengan Melayu Tua, yang mirip dengan tipe mongolid.
“Suku Penghulu mendiami Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin, terutama di Kecamatan Sungai Manau, Kecamatan Limun, Kecamatan Batang Asai, Hulu Tabir Nibung, dan beberapa tempat lainnya”.
Diperkirakan kedatangan mereka semula tertarik pada kandungan emas yang banyak terdapat di daerah-daerah tersebut. Di beberapa tempat di Kabupaten Bungo dan Kabupaten Tebo banyak pula terdapat orang Penghulu ini.
“Suku Pindah berasal dari daerah Palembang yaitu dari Rupit dan Rawas. Kebanyakan dari mereka mendiami desa Pauh dan Mandiangin di Kabupaten Sarolangun”.
Perpindahan mereka berlatarbelakang letak daerah mereka semula memang bersebelahan dengan yang mereka tempati sekarang.
“Suku Melayu Jambi mendiami daerah Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo di hulu, dan sebagian Kabupaten Tanjung Jabung di hilir, serta di tengah-tengah Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Muario Jambi dan Kota Jambi. Boleh dikatakan daerah yang mereka diami merupakan garis lurus alur sungai Batanghari yang amat strategis baik di pandang dari segi pertahanan, pertukaran informasi, penyebaran kebudayaan dan agama, pengaturan politik, penyebaran barang-barang ekonomis atau pengikat rasa persatuan serta semangat perjuangan. Penduduk di pinggir sungai Batang Asai menganggap pula mereka berasal dari suku Melayu Jambi”.
Suku Melayu Jambi digolongkan ke dalam Melayu Muda yang tumbuh bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Melayu, yang belum berhasil diungkapkan secara memuaskan hingga dewasa ini. Temuan-temuan yang meyakinkan berupa candi, batu bertulis, barang-barang porselin dan berbagai patung membuktikan bahwa kerajaan tersebut merupakan suatu kerajaan besar.
Orang Pendatang ialah orang-orang yang datang dari daerah lain di Indonesia maupun dari luar Indonesia. Mereka adalah orang Jawa, Sunda, Minangkabau, Bugis, Batak, Banjar dan sebagainya. Diantara mereka ini ada yang sudah lama menetap, tetapi ada yang baru datang. Mereka datang baik secara spontan ataupun melalui program transmigrasi. Pendatang dari luar Indonesia pada umumnya berlatarbelakang ras India, Arab, dan Cina. Mereka juga sudah ada di Jambi dari satu generasi dan biasanya tinggal di wilaya perkotaan dan mengusahakan perdagangan”.
Jika kita memperhatikan latar belakang kesukubangsaan masyarakat di Provinsi Jambi, maka mereka dapat digolongkan sekurang-kurangnya menjadi Orang Melayu Jambi, Orang Pedalaman, Orang Kerinci, dan Orang Pendatang. Keberadaan mereka di Provinsi Jambi memang turut memperkaya khasanah budaya Jambi, khususnya seni pertunjukan.


















TITIK TUJUAN PEMBAHASAN PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN TARI MELAYU DI PROVINSI JAMBI

Tulisan ini tidak membahas secara teknis keberadaan tari Melayu Jambi tetapi lebih menukik pada hal-hal yang dapat membangun keberadaannya secara berkelanjutan diminati oleh generasi ke generasi, diketahui, dipahami dan diapresiasi dengan baik oleh masyarakat pemiliknya maupun masyarakat luas. Berdasarkan uraian di atas dan melihat kondisi yang terjadi dan dialami sejak dua puluh tahun atau dua dasawarsa terakhir ini di Provinsi Jambi, maka perkembangan dan pertumbuhan tari Melayu Jambi dapat dilihat dari berbagai pandangan untuk menyikapi tantangan global dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Berapa banyak kelompok kesenian dan bagaimana frekuensi pementasan tari tadisional Melayu Jambi ?. Tentu hal ini akan berkaitan dengan minat masyarakat, adanya event atau peristiwa yang menampilkan kesenian tersebut.
2. Apa saja usaha-usaha pelestarian seperti revitalisasi, pusat kajian, pembinaan masyarakat yang dilakukan pemerintah maupun non pemerintah?.
3. Adakah pemberdayaan seniman dengan penciptaan karya-karya baru berdasarkan tari Melayu Jambi yang dapat ditampilkan dalam berbagai festival?. Seperti; membuat promosi melalui pergelaran, perjalanan, dan informasi yang dilaksanakan pemerintah atau non pemerintah.
4. Bagaimana pemerintah menyikapi perbaikan atau pengadaan sarana dan prasarana kesenian yang layak?..Karena sampai saat ini dapat dikatakan sarana dan prasarana yang ada masih belum cukup dan layak untuk pementasan seni.
5. Sudah dibutuhkankah pengadaan sarana pendidikan kesenian secara formal atau memberikan bea siswa untuk pendidikan kesenian bagi yang berminat dan terprogram? Kalau tidak, apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendidikan kesenian informal yang telah dijalankan oleh pihak non pemerintah?.
6. Kebijakan apa yang harus dilakukan untuk .keberlanjutan program dari setiap era pemerintahan karena adanya kecenderungan berminat, kurang dan tak berminatnya pimpinan daerah terhadap kesenian?. Keadaan ini menyebabkan pasang surutnya pembinaan kesenian.
Pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dikatakan basi karena setiap kesempatan dalam diskusi, dialog, lokakarya, seminar atau apapun namanya, selalu muncul ke permukaan. Tapi selalu pula tak mendapat jawaban yang pasti dan tak dapat pula mengetahui siapa sesungguhnya yang bertanggungjawab untuk semua itu.
Dalam tulisan ini dicoba untuk menguraikan secara singkat betapa pentingnya pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk dijawab. Karena sangat terkait dengan apa yang dibahas menurut judul tulisan ini.
Jumlah Kelompok Kesenian dan Frekuensi Pementasan
Sedikit banyaknya pementasan yang dilakukan oleh berbagai kelompok kesenian baik tradisional maupun kreasi baru akan menjadi salah satu tolok ukur berkembangnya kesenian di suatu tempat. Pementasan dapat dikategorikan sebagai pementasan daur hidup, ditanggap, atau melakukan perjalanan. Sedangkan jumlah kelompok kesenian yang ada turut pula menentukan. Selain itu, ada atau tidaknya penonton sebagai pendukung pasif dan pelaku aktifnya baik secara individual maupun kelompok pun ikut menentukan pula. Dalam data Persebaran Seni Pertunjukan Tradisional Provinsi Jambi tahun 1994 – 1996 yang dikeluarkan oleh Institut Kesenian Jakarta bersama Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi, didapatkan bahwa se - Provinsi Jambi:
Tabel 1. Jumlah kelompok tari tradisional:
Jenis Kelompok Jumlah
Individual 19
Formal 35
Informal 67
121
Catatan: Kelompok tari tradisional banyak didapatkan di Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo, Kabupaten Kerinci, Kabupaten Batanghari, dan Kabupaten Muaro Jambi.
Tabel 2. Frekuensi pementasan tari tradisional per – tahun.
Jenis Pementasan Frekuensi
Perayaan Hari Nasional 43
Perayaan Hari Keagamaan 16
Perayaan Desa/Kelurahan/Kecamatan 70
Ditanggap 59
Lainnya 18
Jumlah 206
Catatan: 10% kelompok sering pertunjukan (7 kali lebih), 10% kelompok cukup sering pertunjukan (4-6 kali), 60% kelompok jarang pertunjukan (1-3 kali), dan 20% kelompok tidak pertunjukan.
Tabel 3. Penanggap pementasan tari tradisional per-tahun.
Penanggap Jumlah
Kalangan pemerintah 28
Kelompok perseorangan 48
Perseorangan 18
Lainnya 6
80


Tabel 4. Kelompok usia penonton
Kelompok Usia Jumlah
Orang Tua 7
Remaja/pemuda 11
Anak-anak 0
Campuran 80
98

Melihat data di atas dapat diambil kesimpulan yakni:
1. Kelompok tari tradisonal banyak terdapat di Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo, Kabupaten Kerinci, Kabupaten Batanghari, dan Kabupaten Muaro Jambi.
2. Kelompok tari tersebut sangat sedikit mendapatkan kesempatan berpentas bahkan ada yang tidak pernah sama sekali. Kalaupun ada yang sering berpentas hanya 10 % dari jumlah kelompok yang ada. Hasil peninjauan secara acak yang dilakukan oleh Langkan Budaya Taratak tahun 2002 hingga saat ini, baik secara langsung ke tempat dimana kelompok tari tradisonal berada atau melalui informan, diketahui kelompok-kelompok kesenian tersebut banyak yang tidak lagi bergiat dengan berbagai alasan dan faktor, seperti; usia seniman yang semakin tua dan kurang atau tidak adanya generasi penerus, rusaknya peralatan kesenian, kurang dan tidak adanya yang menanggap karena bersaing dengan kesenian modern – orgen tunggal, band – dan lainnya, kurang dan tidak adanya bantuan pemerintah, tuntutan ekonomi keluarga, atau pindah ke tempat lain.
3. Semakin kurangnya minat para generasi muda terhadap tari tradisional juga menjadi persoalan yang tak hentinya dalam meningkatkan kecintaan mereka. Merujuk pada kelompok usia penonton jelas terlihat bahwa kelompok usia anak-anak tidak mendapat perhatian secara khusus untuk mendapatkan apresiasi seni tradisional. Sehingga dalam kurun waktu tigabelas tahun (1996-2009) mereka telah tumbuh menjadi remaja yang kurang tersentuh seni tradisional.
Revitalisasi tari tradisional.
Revitalisasi seni tradisional memiliki pengertian yang luas dan beragam. Mulai dari menyusun daftar keberadaannya, diskusi, seminar, pementasan, dan memperkenalkannya kepada masyarakat secara luas adalah bagian-bagian dari usaha revitalisasi tersebut. Berkaitan dengan revitalisasi tari tradisional merupakan usaha yang sangat erat hubungannya dengan kepentingan kehidupan kesenian di dalam masyarakat yang memang mereka butuhkan kehadiran tari tersebut sebagai bagian dari kehidupan mereka. Oleh sebab itu, tidaklah seluruhnya tari tradisional menjalani revitalisasi apabila tidak lagi dibutuhkan dan tidak lagi relevan dengan kehidupan masyarakat pemiliknya.
Melakukan revitalisasi terhadap tari tradisional juga bukan seharusnya mengembalikan fungsinya dalam masyarakatnya. Tetapi dapat pula dijadikan sebagai hasil usaha untuk menghidupkan kembali tari tradisional yang telah rapuh atau punah sebagai khasanah budaya setempat agar mereka yang memiliki masih dapat melihat dan merasakan pentingnya memelihara kesenian.
Perhatikan tabel-tabel berikut ini:
Tabel 5. Asal usul keberadaan tari tradisional.
Asal Usul Jumlah
Tidak tahu 2
Nenek moyang 67
Belajar dari pihak luar 9
Diciptakan/dikembangkan 17
Lainnya 2
97

Tabel 6. Sifat keaslian
Sifat Keaslian Jumlah
Tidak tahu 2
Masih asli 77
Sudah berubah 14
93

Berdasarkan data dalam tabel-tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Masih ada yang tidak mengetahui asal-usul tari yang telah dijalaninya bertahun-tahun. Bahkan ada yang tidak memahami apakah tari yang mereka bawakan asli dari budaya mereka sendiri atau tidak. Pernyataan ini dapat diartikan betapa rapuhnya tari yang dimiliki mereka yang sewaktu-waktu hilang dan tidak menjadi persoalan yang penting.
2. Banyak tari tradisional yang telah mengalami perubahan baik secara teknis dengan adanya pengembangan yang dilakukan maupun adanya kegiatan tari di luar kawasan budaya mereka. Perubahan secara pasti akan terjadi dalam kesenian tradisional bahkan perubahan dapat menjadikan kesenian itu lebih dinamis. Yang dikhawatirkan adalah perubahan yang memungkinkan masuknya pengaruh luar yang tidak seimbang dalam pengembangan tari secara alamiah yang dilakukan oleh pemiliknya. Tapi juga bukan jaminan bahwa setiap pemilik kesenian akan memberikan kekuatan. Bahkan ada yang dapat pula merusak karena tanpa saringan atau seleksi karena pengetahuan yang dangkal..
3. Untuk itu, penting adanya pusat-pusat kajian tari serta pembinaan masyarakat terhadap tari tradisional yang mudah dijangkau oleh masyarakat. Pusat-pusat kajian ini dapat memberi penyuluhan, dialog, seminar, yang mengarah pada pelestarian seni. Dan secara teknis dapat pula mengadakan workshop, pelatihan dan lainnya yang dapat meningkatkan kualitas.
4. Hasil pemantauan Langkan Budaya Taratak dalam lima tahun terakhir (2004 -2009) yang dilakukan secara langsung, pertumbuhan kelompok tari lebih banyak berkembang di perkotaan seperti Jambi, Muaro Bulian, Muaro Tebo, Muaro Bungo, Sarolangun, Sungai Penuh, Kuala Tungkal dan Muara Sabak. Pertumbuhan ini dipacu oleh banyaknya lulusan sekolah tinggi kesenian yang mencari peluang bekerja atau berwiraswasta ke perkotaan. Mereka tidak saja bergabung dengan kelompok-kelompok kesenian yang telah ada tetapi juga mendirikan kelompok-kelompok baru. Sayangnya kelompok-kelompok ini sering tidak bertahan lama.

Selan itu, tumbuhnya berbagai usaha-usaha pengelolaan even atau event organizer (E.O) dalam berbagai kegiatan kesenian. Baik yang terkait dengan promosi, helat, perjalanan, seminar, pertunjukan, dan lain-lain.

Beberapa kelompok tari yang bertahan tetapi lebih banyak atau mengutamakan pada pembinaan generasi hanya beberapa kelompok saja. Umumnya dikelola secara pribadi, swasta dan bukan milik pemerintah. Kelompok-kelompok ini dapat dikatakan tidak banyak kesempatan untuk berpentas. Sedangkan pertumbuhan kelompok lainnya adalah kelompok-kelompok tari yang dikelola oleh pemerintah provinsi, kota, kabupaten bahkan kecamatan yang mengutamakan penampilannya berkaitan dengan proyek-proyek pemerintah. Sayangnya, niat baik untuk mendirikan kelompok kesenian pemerintah untuk perkembangan dan pertumbuhan tari di Provinsi Jambi tidak mengakar pada pembangunan kesenian di masyarakat. Terkadang dapat pula menjadi penghambat dalam kemajuan dan kesempatan kelompok-kelompok kesenian yang dikelola masyarakat. Sementara kelompok-kelompok tradisional yang ada di pedesaan banyak yang tidak aktif lagi dengan berbagai alasan dan kondisi yang mereka hadapi. Pertumbuhan kelompok-kelompok kesenian di pedesaan dirasakan mulai menurunnya sejak tahun 2002.
Pemberdayaan Seniman
Warisan budaya tari tradisional sama kedudukannya dengan seni yang lain. Tari tradisional perlu dipelajari, dikaji kedalaman makna didalamnya karena dia terkait dengan lingkungan budaya dimana dtumbuhnya tari tradisional tersebut. Dengan cara demikian, tari tradisional akan lestari sebagai warisan budaya yang sangat tinggi nilainya karena dihargai sebagai warisan luhur. Di sisi lain, tari tradisional penting untuk dikembangtumbuhkan agar dia tumbuh dan menyesuaikan diri dengan jaman yang berjalan. Cara inipun dianggap sebagai pelestarian yang sangat diperlukan untuk menghadapi terbukanya dunia tari dari tradisional kea rah modern dan global.
Maka, untuk menjalankan segala upaya dan usaha kearah pelestarian tari tradisional sangatlah dibutuhkan tenaga-tenaga berkualitas, profesional, intelektual yang dapat memahami permasalahan tersebut. Tentu saja akan terkait dengan tersedianya orang-orang yang berpendidikan secara khusus di bidang tari. Berikut ini adalah tabel tempat belajar yang dimiliki oleh para seniman tari tradisional, yaitu:


Tabel 7. Proses Belajar
Tempat Belajar Jumlah
Lingkungan keluarga 64
Lingkungan tempat tinggal 36
Di luar lingkungan tempat tinggal 12
Formal di sanggar/kursus 3
Formal sekolah seni 1
Lainnya 2
118

Jelas terlihat bahwa yang mengecap pendidikan secara formal sekolah seni (1994 -1996) hanya 1 orang yang tak sebanding dengan begitu banyaknya kelompok tari tradisional dan luasnya kawasan budaya.
Diperkirakan jumlah orang yang mendapatkan pendidikan formal sekolah seni atas prakarsa sendiri dalam jumlah sangat sedikit sekali. Dan mereka lebih banyak memilih sebagai pegawai pemerintah, mengelola kelompok kesenian, dan tidak begitu tertarik terhadap seni tari tradisional. Umumnya, mereka cenderung untuk menciptakan tarian baru yang berlandaskan pada tari tradisional. Hasil karya mereka mengisi berbagai pentas baik penampilan secara kelompok pribadi, kelompok tertentu, atau terkait dengan tempat bekerja. Meskipun tidak seluruhnya memilih menjadi seniman pencipta tari – sebagian memilih sebagai batu loncatan mendapatkan pekerjaan, mengelola kesenian untuk pendidkan masyarakat, atau sama sekali tak melakukan kegiatan apapun – namun kehadiran mereka setidaknya telah dapat memberi secercah warna terhadap pertumbuhan tari.
Sederetan seniman tari Jambi antara lain; O.K. Hundrick, Iskandar Zakaria, Nuraini, Darwan Asri, Tom Ibnur (penulis sendiri) dan generasi ke depan Eri Argawan, Sri Purnama Syam, Lily Bekti, Herlis, Rismala Isma, Vevi Sundari, Ika Rahmadani, Budianto, Riswani, Syafwan Effendi, Mery Marthias, Tuktiga Nantri, Panca, Nova, Dian, dan masih banyak lagi tersebar di seluruh Provinsi Jambi adalah seniman tari yang telah memberikan karyanya untuk mengisi khasanah tari Jambi. Generasi penerus dalam lapisan baru masih menunggu untuk dibina lebih baik lagi. Mestinya hal ini menjadi perhatian pemerintah untuk memberikan bea siswa atau bantuan lainnya untuk meningkatkan masyarakat mendapatkan pendidikan seni tari khususnya dan kesenian secara luas dalam pendidikan kesenian yang formal.
Festival Kesenian adalah ajang dimana para seniman dapat menggelar karyanya dan dijadikan sebagai tolok ukur atas kualitas dan kuantitas seniman yang berpartisipasi. Festival tari yang bertujuan untuk meningkatkan penciptaan tari Melayu Jambi baik yang didasari oleh seni tari tradsional yang ada maupun dari inspirasi seniman itu sendiri akan dapat meningkatkan khasanah tari yang berkarakter khas di Provinsi Jambi. Tetapi festival yang diharapkan tidaklah memadai sebagai ajang karya karena kehadirannya tidak menjadi tujuan utama untuk mengembangtumbuhkan seni tari yang ideal. Festival terkait dengan kebutuhan lain yang menjadikan ajang seni tersebut kurang diminati seniman, bahkan jarang mendapat kesempatan untuk berpentas. Beberapa festival kesenian yang cukup bergengsi di Provinsi Jambi antara lain,
1. Pekan Pesona Jambi – lebih mengarah pada pameran pencapaian prestasi setiap daerah – dan dirasakan sinarnya semakin pudar.
2. Jambi Bertabur Diskon – arahnya lebih pada peningkatan penjualan hasil industri – yang diselenggarakan tak ubahnya seperti pasar malam.
3. Pesta Danau Kerinci – keinginannya menjadi festival nasional bahkan intenasional – tetapi lebih banyak menampilkan budaya setempat dan daerah tetangga sekitarnya.
4. Festival Candi Muaro Jambi – berpeluang menjadi festival yang bergengsi karena dikaitkan dengan situs candi yang memiliki latar belakang sejarah yang kuat – tetapi penyelenggaraannya terkesan tak dikelola dengan baik dan semakin lama terasa luntur semangatnya.
Provinsi Jambi pernah memiliki festival kesenian yang cukup bergengsi dan dikenal secara nasional maupun internasional yaitu;
1. Jambi Arts Festval (JAF) pada tahun 2000 yang menampilkan kesenian pilihan baik dari kelompok lokal, nasional maupun internasional.
2. Pekan Seni Pertunjukan Tradisional Jambi (PSPTJ) tahun yang sama, sebagai ajang penampilan tari tradisional Jambi yang terpilih dari hasil revitalisasi tahun 1998 – 2000.
Tetapi festival ini tidak berlangsung lagi dengan berbagai alasan sarana dan prasarana yang tidak layak, ekonomi, politik dan lainnya. Alasan politik telah menjadikan keberlanjutan sebuah peristiwa budaya tidak dapat dipertahankan. Kesenian menjadi kebijakan budaya dari setiap penguasa yang menjadikan lumpuhnya sendi-sendi pembinaan kesenian.
Akhirnya seniman kembali mengarah pada Taman Budaya yang dapat menampung aspirasi kesenimanan dan memberi kepuasan batin. Meskipun festival yang dilaksanakan tidak semegah dan sekemilau festival-festival di atas. Sayangnya, pengelolaan Taman Budaya tidak terjaga kontinyutasnya dan tergantung pada sikap, komunikasi, daya kreatif dan kebijakan setiap kepala atau pimpinannya yang duduk.
Dapat disimpulkan bahwa festival sebagai ajang seni tradisonal dan karya seniman di Jambi sangatlah kurang. Kalaupun ada tidak memberi kualitas yang dapat meningkatkan apresiasi seniman sekaligus masyarakat. Hal ini sangat dirasakan dalam kurun waktu satu windu terakhir (2001 – 2009). Hal ini diperburuk dengan tidak aktif atau mati surinya Dewan Kesenian Jambi, yang semestinya menjadi harapan bagi perkembangan dan pertumbuhan kesenian di Provinsi Jambi.
Seni Popular, Seni Instan, dan Seni Pariwisata
Lintas budaya yang semakin deras dan keras tak terelakkan telah melanda Tanah Jambi. Informasi masuk dari berbagai arah seperti, televisi, radio, internet, majalah, surat kabar, bulletin dan berbagai macam bentuk informasi lainnya. Keadaan ini telah memaksa setiap orang untuk memilih apa yang disukai, diminati atau tidak. Umumnya informasi ini menyentuh dan bahkan mempengaruhi generasi muda yang sedang mencari jatidirinya. Begitu banyaknya pilihan yang diberikan – terutama dalam seni – maka generasi muda cenderung untuk menjatuhkan pilihannya pada seni popular. Karakter seni polular mudah dicerna, menarik untuk dilakukan, komunikatif dalam jamannya, menjanjikan selalu baru, siap saji atau instant, dan mudah didapat serta dinikmati sesaat. Tanpa memikirkan sebuah tanggungjawab terhadap keberlangsungan sebuah tatanan budaya lama sebagai warisan yang penting untuk dipelihara. Tidak saja generasi muda tetapi masyarakat melihat berbagai pilihan ini layaknya seperti hidangan kenduri yang menyiapkan jamuan yang lezat.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir sangat dirasakan keadaan ini di Provinsi Jambi. Tumbuhnya pusat-pusat perbelanjaan dan hotel-hotel berbintang – mall, super market, departemen store, café dan sejenisnya - yang bagai dipindahkan dalam waktu singkat dari kota metropolitan telah merubah sikap mental masyarakat. Apalagi tempat-tempat tersebut tidak hanya menjajakan jualannya saja, tapi ikut mempromosikan seni popular, seni instan dan seni pariwisata sebagai salah satu cara untuk memikat masyarakat untuk mengapresiasi kesenian tersebut. Meskipun juga menampilkan kesenian tradisional dan karya-karya seni kreatif seniman, misalnya dalam peristiwa budaya tertentu, tapi bagiannya sangat kecil. Hotel-hotel pun sekarang tidak lagi untuk tempat menginap semata. Fungsinya jadi beragam seperti, tempat perhelatan, pentas kesenian, ruang pameran, dan lainnya. Tak terelakkan sebuah dampak yang terjadi terhadap perkembangan dan pertumbuhan seni di Jambi.khususnya seni tari, banyak kelompok-kelompok tari atau sanggar bertumbuhan menjadi pemasok penampilan seni popular dan seni hiburan. Kesenian ini akhirnya menjadi kebutuhan bagi pengusaha/pengelola untuk menghibur masyarakat pengunjung. Sering keadaan ini dikaitkan dengan kepariwisataan yakni wisata belanja, dan menjadikan kesenian yang tampil memiliki citra sebagai seni yang menghibur atau seni pariwisata.
Apa yang berlaku sesungguhnya tidaklah semua salah. Tak dapat dielakkan bahwa pariwisata dan seni budaya akan saling kait mengkait. Tidak dapat pula dipungkiri bahwa usaha pengembangan seni pertunjukan yang selama ini dilakukan justru berorientasi pada kepentingan pariwisata. Kepentingan tersebut jelas tidak terlepas dari pertimbangan sosial, ekonomi, politis, dan budaya. Masalahnya, bagaimana caranya agar seni pertunjukan yang bersangkutan dapat dikemas sebagai sajian pariwisata, sekaligus menjadi penunjuk jatidiri masyarakat, dalam hal ini Melayu Jambi. Sehubungan dengan hal itu, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana bentuk unsur-unsur seni pertunjukan sehingga menarik untuk ditonton tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya Melayu Jambi. Oleh karenanya, penggalian nilai-nilai budaya Melayu Jambi sebagaimana tersirat dalam setiap produk budaya yang terwujud perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar tidak menjadikan semua tari Melayu Jambi terlibas sekularisasi. Tinggal persoalan berikutnya adalah untuk membuktikan apakah Provinsi Jambi sudah menjadi daerah tujuan wisata yang diperhitungkan oleh para wisatawan. Dengan kata lain, pengembangan seni pertunjukan tersebut tidak bisa terlepas dari unsur lainnya dalam angka pengembangan kepariwisataan di Jambi.
Menjadi fenomena bahwa pada umumnya generasi muda tidak merasa tertarik apalagi menggeluti seni pertunjukan tradisional daerahnya. Padahal untuk menjamin keberlangsungannya diperlukan keterlibatan mereka. Oleh karena itu, diselenggarakannya peristiwa-peristiwa budaya daerah yang melibatkan generasi muda sangat bermanfaat. Selain menanamkan kembali nilai-nilai budaya tetapi juga bermanfaat untuk mengimbangi derasnya keinginan mereka terhadap seni popular, seni instan dan seni pariwisata yang sekular.










KESIMPULAN
Ternyata, seni tari tidak hanya sekedar pertunjukan yang dapat dinikmati begitu saja. Banyak permasalahan yang terkait dengan kehidupan manusia. Sejak dulu seni tari pun dilakukan dalam berbagai fungsi oleh masyarakat. Bila beranjak dari pengertian hiburan, maka ada tiga fungsi seni tari yang dapat diperuntukkan sebagai hiburan visual dimana penonton cenderung melihat sebagai tontonan yang menghibur dengan keindahan pandangan, misalnya tertarik dengan kecantikan penarinya, keindahan kostum, kelincahan dan keelokan gerak. Selain itu, dapat pula diperuntukkan sebagai hiburan spiritual, yang memberikan ketenangan jiwa, kenyamanan pikiran, keyakinan, dan kepuasan batin. Sedangkan yang lain diperuntukkan sebagai hiburan intelektual yang membawa penonton untuk mencari makna dalam simbol-simbol, idiom-idiom, meningkatkan imajinasi, dan memikirkan kelanjutannya.
Mengacu pada perkembangan dan pertumbuhan tari Melayu Jambi dalam dua dasawarsa terlihat:
1. Adanya penurunan kegiatan berolah tari yang semakin kuat pada kurun waktu dasawarsa yang kedua (2002 – 2009). Hal ini terlihat semakin rapuhnya kelompok-kelompok kesenian tradisional Melayu Jambi. Kerapuhan ini dapat diakibatkan makin berkurangnya perhatian dari pemerintah untuk memberi kesempatan atau memberdayakannya dalam berbagai kegiatan kesenian. Keadaan ini umumnya berlaku bagi kelompok-kelompok kesenian di pedesaan. Sementara diperkotaan kelompok-kelompok kesenian yang bergerak di bidang tari semakin meningkat yang memberi gambaran suatu peningkatan partisipasi para seniman tari dalam melahirkan cipta karya tari baru. Berbeda dengan kelompok-kelompok tari tradisional yang ada di pedesaan, kelompok-kelompok tari di perkotaan mencoba untuk meningkatkan kemandirian, berusaha untuk bertahan – meskipun tidak semua dapat melakukannya - karena didukung oleh anggota kelompoknya yaitu masyarakat yang peduli pada perkembangan tari. Yang akhirnya tidak begitu menggantungkan diri pada bantuan pemerintah dan jarang sekali sampai untuk kelompoknya.
Akibatnya, khasanah tari tradisional semakin berkurang yang semestinya terpelihara sebagai nilai budaya dan sangat berguna bagi perkembangan dan pertumbuhan tari Melayu Jambi. Generasi muda tidak lagi mengenal dengan baik atau bahkan tidak sama sekali karena punahnya kekayaan tersebut. Mereka mulai beralih pada apresiasi nilai-nilai budaya baru yang terus tumbuh dan berkembang. Begitu pula para seniman, akan kehilangan dasar inspirasi dalam berkarya untuk mengembangtumbuhkan tari Melayu Jambi. Dimasa datang tentu akan lahir karya-karya tari yang tak lagi memperdulikan memiliki nilai budaya Melayu Jambi atau tidak.
Semestinya, pemerintah dan masyarakat saling mendukung tapi bukanlah berarti menghilangkan kewajiban bahwa pemeritntah adalah pembina utama dan bertanggungjawab untuk itu.

2. Karya cipta tari para seniman tari di Jambi terlihat meningkat jumlahnya, terutama di perkotaan. Sayangnya, hasil ciptaan mereka tidak begitu muncul ke permukaan. Tarian yang direka oleh O.K. Hundrick, M. Ceylon Siregar, Darwan Asri, Nuraini, Iskandar Zakaria, dan Tom Ibnur masih menjadi panutan dan digelar oleh berbagai kelompok-kelompok tari di Jambi. Keadaan ini diakibatkan beberapa faktor, yaitu: belum adanya karya cipta tari para penata tari muda yang menonjol dalam nilai dan kualitas tari Melayu Jambi, bila ada karya tersebut belum atau tidak mendapat tempat untuk ditampilkan dalam forum yang memungkinkan untuk dikenal dan dinilai masyarakat, banyaknya karya tari yang asal jadi cepat saji tanpa memahami nilai-nilai yang ada dalam budaya Melayu Jambi, kurangnya ilmu menata tari atau koreografi para penata tari, atau memang tidak mengarah pada penciptaan karya tari Melayu Jambi.
Kondisi ini hendaknya menjadi perhatian bagi para penata tari muda yang harus meningkatkan pemahamannya terhadap budaya Melayu Jambi dan koreografi. Meskipun semakin meningkat lulusan sekolah tinggi kesenian yang berkiprah tetapi perlu menimba pengalaman atas kenyataan yang ada di lapangan. Tentu saja perlu menjadi catatan bahwa penciptaan tari membutuhkan ketekunan yang mungkin akan sulit dilakukan oleh lulusan sekolah tinggi kesenian yang hanya bercita-cita dan menjadikan ijazahnya sebagai batu loncatan untuk jadi pegawai negeri yang hanya duduk di belakang meja dan tidak mendapat tempat yang sesuai dengan pendidikannya.

3. Revitalisasi Tari Melayu Jambi semestinya dilakukan secara bertahap, berkala dan berkelanjutan agar senantiasa tetap berkembang, dikenal, dihayati sebagai seni yang tinggi nilainya serta sebagai warisan budaya. Bila hal ini dapat dicapai tentu kehadiran tari Melayu Jambi bukan hanya sebagai barang usang yang sesekali dipoles untuk ditampilkan. Tapi dapat menumbuhkan kebanggaan bagi setiap diri yang memiliki warisan tersebut. Dengan demikian akan menimbulkan niat untuk memeliharanyan dengan baik.

4. Menghidupkan atau menyelenggarakan kembali program-program kesenian yang mengacu pada pembinaan seni tari secara luas seperti, festival tari yang dapat menampilkan karya-karya tari Melayu Jambi tradisional maupun kreasi baru sebagai ajang bagi para seniman tari di Provinsi Jambi, festival tari yang menampilkan karya-karya tari berbagai daerah yang dapat memberi perbandingan dalam pencapaian kualitas, festival tari internasional yang dapat meningkatkan ide kreatif serta apresiasi terhadap tari yang semakin tumbuh dan berkembang di dunia, menyelenggarakan dialog, diskusi, seminar, dan workshop tari untuk meningkatkan pemahaman terhadap masalah tari baik wawasan teknis maupun artisitik.

5. Pariwisata telah memacu dan memicu para seniman untuk kreatif dalam pengadaan pertunjukan-pertunjukan tari yang sesuai buat even-even pariwisata. Umumnya karya tari yang digelar mengarah pada karya dengan keindahan menghibur kasat mata. Tidak ada yang melarang dan membatasi seniman untuk melakukan hal tersebut . Pariwisata akhirnya dituding sebagai instansi yang mendangkalkan nilai budaya dan hanya sekedar hura-hura. Pemahaman ini dapat dibenarkan atas realitas yang terjadi. Tetapi dapat pula diartikan sebagai salah kaprah karena sesungguhnya pariwisata dapat pula menampilkan jenis-jenis kesenian yang memiliki nilai budaya yang tinggi. Bahkan seni popular, kontemporer, absurd dan lainnya pun dapat menjadi tontonan yang menarik. Hanya saja hal demikian jarang dilakukan, mungkin perlu tenaga ahli yang memahami hal tersebut karena memerlukan penanganan yang kompleks dan membutuhkan dana yang besar. Memang harus dipertanyakan sejauh mana konsep dan realitas pembangunan pariwisata di Provinsi Jambi. Dan tidak menjadi pemacu dan pemicu pendangkalan karya cipta tari para seniman di Provinsi Jambi.

6. Melihat pada perkembangan dan pertumbuhan tari di berbagai daerah ternyata daerah yang memiliki sekolah atau akademi kesenian seperti, Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, ISI Denpasar, ISI Yogyakarta, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung dan STSI Padangpanjang, lebih maju dan kreatif di bidang tari. Sebaliknya daerah yang belum memilikinya tetap memajukan seni tarinya tapi terasa lamban.
Himbauan pada pemerintah untuk menyiapkan program beasiswa bagi yang berminat pada kesenian dan diperuntukkan sebagai program kesenimanan. Masyarakatpun perlu diarahkan dan diberi pemahaman bahwa menjadi seniman merupakan sebuah cita-cita yang luhur. Sebaiknya pemerintah telah mulai mengkaji dan merealisaikan sebuah institusi pendidikan kesenian. Arahnya dapat pada pendidikan seni tari murni yang melahirkan seniman-seniman tari masa depan atau pada pendidikan seni pariwisata yang dapat menghasilkan para seniman yang mengkhususkan dirinya pada perkembangan paraiwisata Jambi.

7. Masih saja ada pandangan dari masyarakat Jambi bahwa tarian yang ada di Jambi harus berkembang dan tumbuh dari keasliannya. Ternyata sangat sulit untuk mendapatkan keaslian dalam arti tari yang tidak mendaapt pengaruh dari budaya luar, percampuran atu silang budaya. Tidak saja pada tari tradisional yang mendapat pengaruh dari budaya lain tetapi pada perkembangan dan dpertumbuhan tari Melayu Jambi didapatkan para penciptanya berasal dari berbagai daerah di luar Jambi dan memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Tetapi kehadiran mereka dari berbagai daerah dan menetap serta berkarya seni di Jambi telah memberi kontribusi yang sangat berharga dalam mengisi khasanah tari Melayu Jambi.
Untuk itu perlu kiranya instansi terkait mencatat seluruh karya cipta tradisional dan karya cipta baru yang telah berkembang dan tumbuh dalam masyarakat Jambi sebagai kekayaan seni budaya dalam bidang tari. Inventarisasi dan pencatatan ini menjadi penting ketika tari pun menjadi asset yang diperebutkan secara global.
Tulisan ini saya persembahkan untuk perkembangan dan pertumbuhan seni tari khususnya dan seni budaya Jambi secara luas. Semoga dapat bermanfaat bagi institusi kesenian, insitusi pendidikan dan penelitian, institusi pariwisata dan semua yang terkait, peduli dan mencintai kesenian sebagai bagian dari kehidupan ini.
“Tuah Bangsa pada Budaya”.
Salam,
Tom Ibnur.







DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, RH
1957 Jambi Sepanjang Masa (stensilan), Jambi : LaporanLembaga Adat Daerah Jambi,

Bujang, Ibrahim
1978 Laporan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Jambi, Jambi : Adat Istiadat Daerah Jambi.

Fatimah, ed.
1995 Wujud, Arti dan Fungsi Puncak-puncak Kebudayaan Lama dan Asli bagi Masyarakat Pendukungnya di Daerah Jambi dan Sumbangannya terhadap Kebudayaan Nasional, Jambi : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Ibnur, Tom
2008 Pengaruh Alam, Lingkungan, Budaya dan Zaman pada Perekembangan dan Pertumbuhan Zapin dan Dana di Jambi, Festival Zapin Nusantara II di Johor Bahru, Malaysia.
Ibnur, Tom
2008 Laporan Revitalisasi Seni Pertunjukan Tradisional Melayu di
Kepulauan Natuna, Langkan Budaya Taratak, Jambi.
Ibnur, Tom
2006 Laporan Peninjauan dan Pemberdayaan Seni Pertunjukan
Tradisional Timor, Langkan Budaya Taratak, Jambi.

Ibnur, Tom
2005 Laporan Peninjauan dan Pemberdayaan Seni Pertunjukan
Tradisional Kabupaten Tebo, Langkan Budaya Taratak.

Ibnur, Tom
2005 Laporan Revitalisasi Seni Pertunjukan Tradisional Kabupaten Kutai Kartanegara, Langkan Budaya Taratak.

Ibnur, Tom
2000 Kaitan Batik dan Seni Pertunjukan Tradisonal Melayu Jambi, Japan Foundation – Kajanglako Arts Centre. Jambi : Laporan Dialog Batik Jambi.
Ibnur, Tom
2002 ZAPINEOZAPIN: Perjalanan Panjang Mencari Bentuk dan Jiwa Baru Zapin, Seminar Pergelaran Zapineozapin di Padangpanjang, Jakarta dan Bengkalis.
Ibnur, Tom
1998 DANA: “Tari Pergaulan Bernafaskan Islam Di Jambi”, Seminar Zapin Nusantara di Johor Bahru, Malaysia.

Ibnur, Tom
1996 Seniman dan Perannya dalam menunjang Kepariwisataan, Temu Wicara Pekan Pesona Budaya Jambi V 1996.

Ibnur, Tom
1996 TARI DALAM DIRI: Kegemaran, Bakat dan Profesi, Temu Seniman, Sastrawan dengan Remaja Jakarta untuk Pembinaan Remaja Jakarta oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia di Jakarta.

Ibnur, Tom
1996 Estetika dan Etika dalam Seni Tari Islami, Seminar Persidangan Seniman Muslim Negara-negara MABINS atau Menteri-menteri Agama Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia dan Singapura di STQ Nasional Ambon.

Ibnur, Tom
1986 Perkembangan dan Pertumbuhan Zapin di Kalimantan Barat, Jawa Timur dan Riau, Jakarta : Laporan Penelitian Zapin Tiga Daerah.


Institut Kesenian Jakarta
1996 Persebaran Seni Pertunjukan Tradisional di Provinsi Jambi, Fakultas Seni Pertunjukan-Institut Kesenian Jakarta dan Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Jambi, Jakarta : Laporan Penelitian Seni Pertunjukan Tradisional Jambi.

Indonesian Heritage, Performing Arts Series
1998 Diterbitkan oleh Didier Millet Pte.Ltd., Singapore.

Lembaga Adat Propinsi Daerah Tingkat I Jambi
1989 Hasil Rumusan Temu Adat, Jambi : Lembaga AdatJ Jambi.


Marsden, William
2008 Sejarah Sumatra, Komunitas Bambu, Jakarta.

Melalatoa, M. Junus, DR
1995 Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, Direktorat Sejarah dan Nilai-nilai Tradisi, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Percetakan CV. Eka Putra.

Muljana, Slamet, Prof. DR
2006 Sriwijaya, LKiS Yogyakarta, Percetakan Arnoldus ende, Flores, Nusatenggara Timur.

Md. Nor, Mohd. Anis
2000 Zapin Melayu di Nusantara, Edisi Pertama, Yayasan Warisan Johor, Percetakan Asni Sdn. Bhd., Kuala Lumpur

Refisrul, ed.
1994 Dampak Pengembangan Pariwisata terhadap Kehidupan Budaya Daerah Jambi, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Drektorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya.

Sedyawati, Edi
1981 Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Cetakan Pertama, Sinar Harapan, Seri Esni no. 4.

Soedarsono, RM, Prof. DR
1999 Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata, MSPI - Arti Line – Ford Foundation.

Soedarsono, RM, Prof. DR
2001 Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Senirupa, Cetakan Kedua, MSPI, Jakarta.

Schoorl, J.W. Pim, DR.
2003 Masyarakat , Sejarah dan Budaya Buton, Percetakan Djambatan-KITLV Jakarta.

Zacot, Francoise Robert
2008 Orang Bajo, KPG, Forum Jakarta-Paris, Ecole Francais de Extreme-Orient.

Zakaria, Iskandar
1984 Tambo Sakti Alam Kerinci, Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.





BIOGRAFI












TOM IBNUR

Lahir di Padang, 15 Mei 1952. Pengajar Utama Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Kesenian Jakarta (IKJ), di Jakarta. Nama lahirnya Arison Ibnur yang bermakna “Anak Matahari” sedangkan Tom Ibnur adalah nama popularnya sebagai koreografer papan atas Indonesia, yang telah menciptakan lebih dari 300 karya tari dan dipentaskan di Indonesia dan di berbagai negara di dunia.

Mendapat gelar B.Sc.(Kimia Analisis) di Akademi Teknologi Industri Padang, Gelar Diploma III serta Diploma IV (Koreografi) seterusnya gelar S.Sn (Seni Pertunjukan) di Institut Kesenian Jakarta. Pengajar Kehormatan (Mpu) Penciptaan Tari Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) di Padangpanjang, dan Pengajar Tamu Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) di Pekanbaru.

Tom Ibnur mendalami pendidikan seninya untuk tari Minangkabau dan Melayu, khususnya Zapin. Kemudian berkembang dengan kekayaan tari dan budaya Nusantara menuju pada kreasi baru dan kontemporer. Sebagai seniman dia juga mendalami tentang fashion design & modelling serta manajemen kesenian. Dia adalah penggerak dan konsultan Revitalisasi Seni Pertunjukan di berbagai daerah di Indonesia, Direktur Langkan Budaya Taratak (Taratak Cultural Centre) di Jambi, Direktur Jambi Arts Festival, Dewan Artistik Art Summit Indonesia, Direktur Artistik Liga Tari Krida Budaya Universitas Indonesia di Jakarta, Direktur Artistik Studio One Fashion & Modelling Jakarta, Direktur Artistik Opera Jelajah Anak Indonesia (OJAI) di Jakarta, Dewan Artistik Pasar Tari Kontemporer Pekanbaru Riau, Dewan Pendiri Indonesian Dance Festival, Konsultan Festival Zapin Nusantara di Johor Baru Malaysia, dan Konsultan Seni Pertunjukan Melayu di Singapura, serta Anggota Triangle Arts Program bidang Arts Management untuk Amerika-Jepang-Indonesia.

Pernah menjabat sebagai Analis Kepala Laboratorium Produksi PT. Semen Padang (1973 – 1978), Pembantu Dekan II Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta (1988 – 1991), Direktur Produksi Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki (1991 – 1996), dan Konsultan Produksi Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (1996 – 1999).

Beberapa Penghargaan yang telah diterimanya adalah:

Jan.2009 Penghargaan Sangrina Bunda Folk Dance & Music Company: “Bakti Seumur Hidup dalam Seni” (Live Achievement), di Jakarta. Sebagai baktinya selama 30 tahun.
Mar.2008 Penghargaan Universitas Indonesia: “Bakti Seumur Hidup dalam Seni” (Live Achievement), di Jakarta.Sebagai baktinya selama 20 tahun.
Mei 2001 Penghargaan Presiden Republik Indonesia: “Tokoh Pelestari Seni Budaya Tradisi”, di Jambi.
Sep.1993 Association Culturelle D’echanges Internationaux: “Penghargaan Koreografi Terbaik dalam Festival Tari Rakyat Se- Dunia”, di Perancis.
Jul.1984 Penghargaan Dewan Kesenian Jakarta: “Koreografer Terbaik untuk Cipta Tari Remaja Indonesia”, di Jakarta.
Ags.1984 Penghargaan Taman Mini Indonesia Indah: “Koreografer Terbaik Tari Minangkabau”, di Jakarta.
Jul.1983 Penghargaan Dewan Kesenian Jakarta: “Koreografer Terbaik untuk Cipta Tari Anak Indonesia”, di Jakarta.
Ags. 1982 Penghargaan Taman Mini Indonesia Indah: “Koreografer Terbaik Tari Minangkabau”, di Jakarta
Ags. 1973 – 1976 Penghargaan Pemerintah Propinsi Sumatera Barat: “Pemenang Utama Bintang Radio, Televisi dan Lagu Populer se Sumatera Barat”, di Padang.
Ags. 1969 Penghargaan Pemerintah Propinsi Sumatera Barat: “ Penari dan Tari Terbaik Sumatera Barat dalam Festival Kesenian, Olahraga dan Agama III”, di Padang.
Ags. 1966 Penghargaan Pemerintah Propinsi Sumatera Barat: “Penari Terbaik Sumatera Barat dalam Festival Kesenian, Olahraga dan Agama II”, di Bukittinggi.
Ags.1963 Penghargaan Pemerintah Propinsi Sumatera Barat: “Penari Terbaik untuk Tari Pergaulan dan Melayu dalam Festival Kesenian Olahraga dan Agama I”, di Padang.

1 komentar:

  1. Borgata Hotel Casino & Spa - Dr. Maryland
    Borgata Hotel 전주 출장샵 Casino & Spa · Enjoy 하남 출장샵 a relaxed dining environment, an elegant spa and 24/7 security 대구광역 출장안마 presence, and spacious rooms with free Wi-Fi. 정읍 출장마사지 · 안성 출장샵 Free

    BalasHapus