Powered By Blogger

Rabu, 10 November 2010

TARI MELAYU


TARI MELAYU
Oleh: Fortuna Mazka



Nilai-nilai budaya Melayu, khususnya seni tradisional, belum diungkapkan secara jelas fungsi dan sumbangannya dalam sistem pend1idikan serta estetika kehidupan orang Melayu Jambi masa kini.

Untuk mendiskusikan tari itu tidak mudah. Pengkajian tari dalam konteks tradisi juga menambah permasalahan, karena peninggalannya di ambang kepunahan/tidak utuh. Namun, dengan adanya perkembangan berbagai ilmu pengetahuan seperti sejarah, antropologi, dan ilmu sosial, tabir seni tari telah banyak tersingkap khususnya perkembangan yang lebih baik bagi tari Melayu.

Tari Melayu sudah langka karena di bawa arus oleh perkembangan sosial atau gejala alamiah. Sedangkan di lain pihak, ada gejala peninggalan kebudayaan Melayu yang sudah tersebar jauh dari daerah asalnya. Dalam pembicaraan sehari-hari tidak lagi ada keganjilan mengenai orkes Melayu, tari Melayu, teater Melayu, lebih-lebih sastra Melayu yang melampaui batas daerah asalnya itu. Dilihat dari kepentingan komunikasi, gejala pemekaran kebudayaan Melayu telah menumbuhkan rasa persatuan dalam kehidupan kebangsaan kita. Dalam sejarah, gejala ini dapat berkembang secara wajar dan telah menyadarkan kita bahwa kebudayaan Melayu memiliki daya komunikasi yang efektif, sehingga mudah mengalir dan diterima masyarakat.

Tari Melayu ibarat pengantar komunikasi rasa yang merata. Rasa yang mengalir kemudian lebur dan mengendap dalam perantauannya. Pengendapan ini sangat terasa dalam musik, sedangkan dalam unsur gerak bisa dirasakan melalui karakter dan sifat gerak tarinya. Komunikasi rasa dalam tarian mempunyai daya yang lebih wajar dalam hubungan dan pergaulan antarmanusia. Ia tidak memerlukan daya penyampaian yang rumit. Esensi penyampaiannya terletak pada nilai spiritual. Sifatnya yang begitu sensitif dalam komunikasi kebudayaan ini juga dapat membawa faktor negatif. Misalnya, cepat dicintai, tetapi cepat pula dilupakan.

Dalam menemukan kaidah rasa yang sama dalam seni tari, kita mengkaji masalah fungsi tari Melayu, baik dalam bentuk aslinya di daerah asalnya maupun nuansa dalam berbagai perkembangannya. Kalau berbicara mengenai tari Melayu, sebetulnya kita membahas orang Melayu, sejarah, dan perkembangannya. T. Luvkman Sinar (1976) sudah menjelaskan latar belakang tari Melayu sejak munculnya kerajaan-kerajaan di sebelah timur Sumatera.

Kebudayaan Melayu Jambi adalah kebudayaan yang akar budayanya berbeda dengan daerah lain, sehingga berbeda pula dengan kesenian daerah lain. Karakteristik lokal kesenian melayu Jambi yaitu: (1) menyatu dengan alam, (2) minoritas kreatifnya warga masyarakat, (3) mayoritas kreatifnya adalah raja, pejabat, masyarakat umum, (4) tema berkaitan dengan keindahan alam, cinta, penderitaan, perjuangan, persahabatan, kebahagiaan dll, (5) melambangkan keriangan, sedih, semangat, sakral dll, (6) tidak jelas pengarangnya, (7) berkembang dari mulut ke mulut, (8) penuh pesan hiburan dsb. Salah satu aneka ragam seni tari tradisional Melayu Jambi yaitu tari dana sarah yang dibangun sebagai sarana dalam penyebaran agama islam yang ditarikan oleh penari putra dan putri selanjutnya ada tari tauh yang menggambarkan kegembiraan muda - mudi yang ditarikan oleh penari putra dan putri dan juga ada tari zapin yang merupakan kesenian melayu yang kental warna dan napas Islamnya.
Merasuknya budaya Melayu ke dalam tari tradisional di berbagai daerah maupun dalam berbagai seni hibrid yang muncul di Indonesia sangat menarik. Penelitian mendalam mengenai hal itu juga masih harus dikembangkan, karena data sementara yang ada diperoleh secara kebetulan.

Perlu diketahui bahwa pada proses hibrid dalam kesenian, unsur seni tarilah yang paling cepat mencair dan menghilang dimakan zaman. Bekas-bekas yang tertinggal sudah sangat tipis, karena pola-pola dalam seni tari cepat dilupakan bila tidak ada disiplin yang mengikat eksistensinya atau adanya nilai-nilai tertentu yang mengikatnya pada kegunaan tertentu dalam kehidupan masyarakat. Apabila dalam kesenian ada nilai yang mengikat unsur gerak yang dikaitkan dengan status dalam masyarakat Melayu ataupun dengan pergaulan kehidupan beragama, maka seni tari dapat meninggalkan bekas yang lebih berarti dan terpelihara di masyarakat pendukungnya, seperti pada tari Zapin.

Tari zapin adalah tari yang kental dengan napas islam. Tari ini tersebar kemana-mana ke berbagai daerah seperti Jambi, Riau, Kalimantan, Banjar dll. Sehingga namanya mengalami perubahan, yang di Jambi namanya Dana.
Tari senantiasa mempunyai fungsi dalam kehidupan manusia (Lange, 1975). Fungsi tari tidak bisa lepas dari kebudayaan dan peradaban manusia. Apabila kebudayaan dan peradaban bisa berubah, demikian pula fungsi tari, sehingga tidak aneh kalau ada fungsi lama dan fungsi baru yang berdiri secara bersamaan. Relevansi seni tari sangat bergantung pada fungsi tari tersebut. Tari mudah punah apabila tidak berfungsi lagi. Fungsi tari dapat berubah, karena arti tari bagi masyarakat pendukungnya berubah. Hal ini tergantung pada perkembangan peradaban masyarakat yang bersangkutan. Melalui tari kita bisa menilai tingkat peradaban manusia serta kadar komunikasi, baik antarsesamanya maupun dengan bangsa lain.

Sejalan dengan fungsinya, tari mempunyai nilai. Salah satu fungsi yang bisa dimiliki suatu tari adalah sebagai pengikat rasa persatuan karena di dalamnya terkandung nilai spiritual komunal yang dapat mengikat masing-masing pribadi ke dalam kelompok tertentu. Nilai spiritual dalam tari sangat penting, karena memberi arti fungsional bagi kehidupan manusia. Pergeseran nilai spiritual dalam tari menyebabkan pergeseran fungsinya dan sedikit banyak menentukan perkembangan seni tari.

Nilai-nilai di dalam seni tari sudah disadari bermakna bagi pendidikan umum. Ini terlihat dari munculnya educational dance. Jenis tari ini sudah banyak digunakan sebagai sarana pendidikan formal. Hanya saja di Jambi belum ada pendidikan yang khusus fokus pada seni tari. Pergeseran dan pemekaran tari biasanya sering dimiliki oleh cabang kesenian seperti sanggar, group/kelompok, instansi/dinas lainnya dengan kadar komunikasi yang berbeda-beda
Melayu sebagai pokok pembahasan berpijak pada tiga perekat kesamaan dan jati diri yakni: adat-istiadat, bahasa dan agama. Melalui ketiga ciri ini kita bisa berbicara tentang orang dalam dan orang luar, orang kita dan orang lain, dan sebagainya. Pengkotakan yang berasal dari masa lalu ini kelihatannya sudah memudar, sehingga kini kita berbicara tentang Melayu Indonesia, Melayu Malaysia, Melayu Brunei Darussalam, dan seterusnya. Dalam konteks Indonesia, kita berbicara tentang Melayu Riau, Melayu Jambi, Melayu Pontianak, Melayu Banjar, dan seterusnya. Pengkotakan ini berfungsi untuk memperoleh sorotan lebih tajam dilihat dari segi kependudukan yang bertolak dari geografi.

Sudah waktunya untuk menemukan data segar supaya seni tari Melayu dalam berbagai perkembangan budaya kita bisa lebih dimengerti, dan supaya pembahasan tentang fungsi tari tidak kembali ke fungsi lain yang sudah hilang atau memudar. Melihat tari melalui sudut pandang antropologis bisa membuka tabir ketertutupan seni tari Melayu, karena sudut pandang itu melihat tari dari kedudukannya yang paling hakiki dalam kehidupan manusia (Lange, t.t.).

Tari sebagai komponen budaya manusia memiliki fungsi khusus seperti nilai sosial, nilai ritual, pengobatan, dan rekreasional. Tari-tari upacara yang mempunyai kekuatan-kekuatan magis mempunyai bobot kualitas gerak yang lebih tinggi daripada tari yang bermakna rekreasional karena nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Tari-tari sejenis ini dapat berkembang menjadi tari pentas dan bisa memiliki disiplin tertentu, sedangkan tari sosial yang bermakna rekreasional yang mempunyai fungsi dalam rasa kebersamaan dan kekeluargaan suatu kelompok masyarakat tertentu perlu memiliki bobot gerak yang lebih lentur.

Fungsi tari dalam kehidupan masyarakat juga membawa akibat pada standar teknis dan kualitas gerak. Tari yang bermakna rekreasional dan berfungsi sebagai tari pergaulan biasanya dilakukan oleh siapa saja yang mau menari. Gerakannya sederhana dan ringan, tidak terlalu sukar dan tanpa aturan yang rumit, sedangkan tari upacara yang bermakna ritual dan berkekuatan magis biasanya hanya bisa dilakukan oleh mereka yang sudah disiapkan atau oleh penari yang fisik dan jiwanya sudah terlatih. Tari-tari sejenis ini menuntut disiplin yang tinggi dan mempunyai aturan-aturan yang perlu dipelajari untuk diketahui dan dipahami, agar bisa berfungsi sebagai kekuatan spiritual yang diharapkan masyarakat.

Dalam perkembangan kehidupan kebangsaan sekarang, kita harus berbicara tentang fungsi tari yang menunjang martabat bangsa kita atau yang diperlukan dalam meningkatkan kecerdasan bangsa kita. Dalam pembinaan teknis keahlian tari, kita sudah harus berbicara mengenai fungsi seni yang bisa dibagi berdasarkan kepentingan, yaitu: (1) seni pertunjukan, yang menurut bentuknya terdiri dari seni tari, seni teater, seni musik, dan lain-lain, (2) keperluan substantif dalam pendidikan umum, pergaulan sosial, penerangan masyarakat, dan lain-lain.

Faktor yang tidak bisa diabaikan dalam pengembangan fungsi kesenian tari adalah nilai spiritualnya. Nilai ini diperlukan untuk memberi bobot kesungguhan dan mutu artistik dalam penyajiannya. Yang perlu dipermasalahkan adalah bahwa nilai spritual masa kini tidak senantiasa harus sama dengan nilai masa lalu. Secara harafiah banyak nilai tersebut yang sudah tidak berfungsi lagi, akan tetapi inti spiritualnya perlu tetap ada. Hal ini tidak saja menyangkut masalah penjiwaan dari penari, tetapi juga teknik penggarapan dan koreografinya.

Tari yang mendukung keperluan sosial ditekankan pada kegunaan sosialnya. Demikian pula untuk keperluan pergaulan rekreatif, kepentingan tari hendaknya tidak diterapkan sebagai seni pertunjukan ataupun sebaliknya.

Kita perlu berhati-hati dalam proses revitalisasi. Seringkali muncul gejala-gejala aneh dan tidak wajar yang bisa merusak lingkungan kehidupan.. Seni tari yang dekoratif mempunyai sasaran harafiah belaka dan bermakna dalam jangka waktu yang pendek. Akan tetapi, apabila ada maksud lebih jauh dan dalam dari revitalisasi, maka harus ada sisa-sisa kehidupan dan makna yang jelas. Revitalisasi memerlukan daya, dana, dan konsekuensi lain yang perlu dipertanggungjawabkan sebagai usaha kebudayaan menuju kemajuan adab, kesejahteraan, dan keadilan sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar